Karakteristik Masyarakat Modern
Modernisasi dan Westernisasi
Setiap pembahasan mengenai modernisasi harus berhadapan dengan adanya postulasi bahwa modernisasi, paling tidak dalam pengertiannya sekarang, sinonim dengan westernisasi. Jelas memang cara berpakaian, pola konsumsi dan gaya hidup pada umumnya dari “orang modern” bersumber dari barat. Yang dimaksud “barat” di sini adalah sistem nilai yang awalnya berkembang di Eropa bagian Barat dan menyebar ke benua -benua lain. Banyak pihak menampik pandangan ini. Sekarang telah diakui bahwa konsep modernisasi tidak hanya mengenal satu model yang seragam, tetapi dapat terdiri dari beragam model. Tidak hanya ada satu jalan ke arah modernisasi, yaitu mengikuti urutan-urutan yang dialami Negara Negara Barat. Misalnya Jepang, dan negara-negara industri baru lainnya di kawasan Asia Timur, menempuh jalan pintas untuk tiba pada taraf modernisasi yang setara dengan negara-negara Barat. Namun, setelah mengatakan demikian, tidak dapat kita menghindari kenyataan bahwa dunia modern sekarang berawal dari modernisasi Eropa, khususnya dipacu oleh proses industrialisasinya. Proses itu sendiri dipicu oleh revolusi ilmu pengetahuan yang terjadi sekitar empat abad yang lalu, meskipun pengembangan ilmu pengetahuan itu (scientific knowledge), barulah mengambil bentuk yang nyata setelah revolusi industri, bahkan menurut para ahli baru sekitar pertengahan abad ke-19. Apabila pengertian modern dan modernitas kita batasi semata-mata dengan perkembangan kemajuan peradaban suatu negara yang didorong oleh perkembangan pengetahuan dan teknologinya, jelas bahwa modernisasi tidak sebatas westernisasi. Namun, pengertian modernitas yang dikenal sekarang lebih luas dan unsur-unsurnya meliputi keseluruhan aspek-aspek kehidupan masyarakat, selain ilmu pengetahuan dan teknologi, juga sistem ekonomi, sistem politik, dan tata hubungan antarindividu dan antara individu dan kelompok-kelompok masyarakat, katakanlah sistem sosialnya. Dan tidak bisa kita sangkal rujukannya ada pada perkembangan peradaban dan budaya Barat yang terjadi dalam dua abad terakhir ini. Aspek-aspek tersebut secara singkat akan dibahas lebih lanjut berikut ini.
Ciri Masyarakat Modern
Seperti dikemukakan tadi, tidak hanya ada satu model masyarakat modern. Namun, pada umumnya para pakar sepakat bahwa ciri utama yang melatarbelakangi sistem atau model mana pun dari suatu masyarakat modern, adalah derajat rasionalitas yang tinggi dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan dalam masyarakat demikian terselenggara berdasarkan nilai-nilai dan dalam pola-pola yang objektif (impersonal) dan efektif (utilitarian), ketimbang yang sifatnya primordial, seremonial atau tradisional. Derajat rasionalitas yang tinggi itu digerakkan oleh perkembangan-perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi seringkali disebut sebagai kekuatan pendorong (driving force) bagi proses modernisasi. Dengan derajat rasionalitas yang tinggi itu, maka berkembang antara lain ciri-ciri yang kurang lebih berlaku umum, dalam berbagai aspek kehidupan.
Suatu masyarakat modern, dalam pengertian yang dewasa ini banyak dianut harus tercermin dalam berbagai aspek itu. Sistem Ekonomi. Ekonomi modern, berorientasi pada efisiensi (maksimum atau optimum). Ciri utama nya adalah kemampuan untuk memelihara pertumbuhan yang berkelanjutan (self sustaining growth). Mekanisme ekonomi modern adalah pasar. Sistem ekonomi yang demikian memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, memiliki daya yang memungkinkan pengembangan dan penyerapan teknologi (atau gagasan-gagasan) baru. Peran indus tri dan jasa lebih besar dibandingkan pertanian. Oleh karena itu, proses modernisasi acapkali disinonimkan dengan industrialisasi. Kegiatan-kegiatan yang sarat modal dan teknologi yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi, lebih besar dibandingkan dengan yang sarat tenaga kerja yang berharga murah. Ada keseimbangan antara modal manusia (yang berkualitas) dengan modal fisik. Sektor formal lebih dominan dibandingkan dengan sektor informal. Dengan demikian, organisasi dan manajemen produksi menjadi wahana yang penting dalam sistem ekonomi modern. Sebagai konsekuensinya ada pemisahan antara pemilikan dan pengelolaan (manajemen) aset dan kegiatan produksi. Pada masyarakat yang lebih modern, atau pascamodern, peran informasi dan teknologi informasi makin besar dan pada akhirnya menjadi dominan. Sebagai akibatnya ekonomi modern makin tidak mengenal tapal batas negara. Oleh karena itu, kemampuan (dan options) negara untuk mengadakan intervensi menjadi makin berkurang. Sistem ekonomi modern bersifat mandiri. Mandiri tidak berarti keterisolasian, karena dalam hubungannya dengan ekonomi-ekonomi lainnya, ekonomi yang modern mempunyai keunggulan-keunggulan yang membuatnya memiliki kekuatan tawar-menawar (“bargaining position”) dalam hubungan saling ketergantungan antarekonomi. Dengan demikian ekonomi yang modern bukan merupakan “vassal” dari ekonomi lainnya.
Sistem Politik. Sistem politik modern juga mempunyai beberapa ciri yang membedakannya dengan sistem tradisional atau pramodern. Antara lain, individu dan masyarakat tidaklah merupakan objek, tetapi subjek yang turut menentukan arah kehidupan. Berkaitan dengan itu, masyarakat modern ditandai oleh partisipasi masyarakat yang luas dalam proses politik. Sistem politiknya, yakni nilai-nilai dasar dan instrumental, organisasi, mekanisme dan prosedur, bersifat
terbuka dan dapat diikuti oleh siapa pun. Sistem politik modern berlandaskan aturan-aturan dasar
yang disepakati bersama, yang disebut kons titusi, dan kehidupan diselenggarakan berdasarkan
aturan-aturan yang ditetapkan bersama pula dan berlaku buat semua secara adil. Oleh karena itu,
negara modern senantiasa adalah negara yang berdasarkan hukum. Rakyat adalah yang berdaulat, dengan mekanisme yang menunjukkan kedaulatan itu, yang diwujudkan melalui perwakilan. Proses itu berjalan secara terbuka dan menjamin hak setiap warga untuk turut serta di dalamnya, dengan demikian dilengkapi oleh mekanisme komunikasi sosial yang efektif. Penyelenggara negara tunduk kepada kedaulatan rakyat dan hukum, seperti juga semua warga negara. Penyelenggara negara terbentuk tidak atas dasar keturunan, ras, agama, kesetiaan perorangan, tetapi atas dasar kecakapan, integritas, dan kesetiaan kepada tugas dan tujuan organisasi. Sistem politik yang modern mampu mewadahi perbedaan paham dan pandangan, dan menga tasinya dengan cara yang adab dan damai, dalam aturan yang disepakati bersama (hukum). Dalam masyarakat modern ada penampilan individu (individuation) yang nyata (distinct), sehingga manusia berwajah, berkepribadian, bermartabat, dan bukan hanya bagian dari masyarakat. Di pihak lain, dalam masyarakat modern betapa pun bebasnya individu, kebebasan itu tidak mutlak, karena dibatasi oleh hak individu yang lain, hak masyarakat, dan kepentingan masyarakat. Namun, pembatasannya itu diatur pula secara jelas dan berlaku buat semua. Dan akhirnya sistem politik modern, lebih terdesentralisasi, dengan diferensiasi struktural dan spesifikasi fungsi-fungsi, tetapi dengan derajat integrasi dan koordinasi yang tinggi.
Sistem Sosial. Dalam masyarakat modern, hubungan primer antarindividu telah jauh berkurang dan hubungan sekunder yang lebih bersifat impersonal menjadi lebih predominan. Dalam masyarakat tradisional atau pramodern, status, hubungan dan keterkaitan social lebih didasarkan pada apa atau siapa seseorang; latar belakang keluarga atau keturunan, suku atau ras, jender (pria atau wanita), dan usia (yang antara lain melahirkan paternalisme). Dalam masyarakat tradisional, di samping pertimbangan-pertimbangan itu, memang ada juga pertimbangan kemampuan (capability), tetapi lebih bersifat fisik (jagoan, misalnya) atau magis (paranormal). Dalam masyarakat modern apa dan siapa bukannya sama sekali diabaikan, tetapi bobotnya kurang dibandingkan dengan prestasi yang telah dicapai dan potensi yang dapat dicapai. Penghargaan
terhadap kemampuan fisik tidak juga diabaikan seperti pahlawan-pahlawan olahraga, tetapi penghargaan lebih besar diberikan kepada kemampuan intelektual. Sukses seseorang karena
prestasinya sendiri dihargai tinggi dalam masyarakat modern. Manusia modern ingin memperoleh pengakuan sebagai individu selain sebagai anggota masyarakat. Juga ia berorientasi ke masa depan dan senantiasa berupaya untuk terus maju, tidak statis, dan berusaha menampilkan dan mencari yang terbaik. Karena itu, manusia modern bersifat kreatif dan kritis, dan karena itu pula, profesionalisme adalah cirinya manusia modern. Pada umumnya ciri personalitas manusia modern adalah manusia yang mampu membimbing dirinya sendiri, mampu mengambil keputusan sendiri (menetapkan pilihan-pilihan) dan mampu menghadapi perubahan.
Struktur yang mewarnai suatu masya rakat tradisional berin tikan kekerabatan, kesukuan, atau keaga maan. Struktur yang bersifat primordial itu tertutup bagi yang lain di luar hubungan hubungan itu dan tidak bersifat sukarela. Dalam masya rakat modern, struktur sosial bersifat terbuka dan bersifat sukarela. Jadi, yang berkembang dan menjadi tiang-tiang masyarakat adalah
organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial, termasuk organisasi profesional dan fungsional. Dalam masyarakat tradisional atau pramodern, organisasi-organisasi serupa itu sekalipun sudah ada, dasarnya masih tetap lebih bersifat primordial dan masih lebih tertutup. Namun, apabila kita berbicara mengenai struktur sosial, ada ciri yang nyata dalam masyarakat modern, yaitu bahwa sebagian besar anggota masyarakat berada pada lapisan menengah; lapisan atas dan bawah adalah minoritas. Pada masyarakat tradisional dan pramodern, sebagian besar masyarakat berada di lapisan bawah. Dalam masyarakat modern tidak tampak batas pemisah (diskontinuitas), tetapi stratanya lebih bersifat suatu kontinuum. Dalam masyarakat tradisional pembatas antarstrata sangat tegas, bahkan acapkali tabu atau ada sangsi bagi yang melewati batas itu. Dalam masyarakat modern mobilitas sosial tinggi baik ke atas, maupun ke bawah. Sebaliknya dalam masyarakat tradisional mobilitas itu rendah, yang di bawah betapa pun potensinya tetap di bawah, dan yang di atas betapa pun rendah kemampuannya tetap berada di atas. Dalam masyarakat modern, pandangan keadilan, kesamaan hak dan kewajiban menjadi kredo, yang berarti juga kesamaan kesempatan.
Masyarakat Indonesia Modern
Dengan sendirinya berbagai ciri yang berlaku umum seperti yang terurai di atas harus kita beri bobot tambahan, yaitu agar masyarakat modern itu tetap masyarakat Indonesia yang memiliki kepribadian yang khas Indonesia. Di sini letak tantangan bagi kita, yaitu memodernisasikan bangsa kita dan dalam proses itu, kita tidak boleh kehilangan jati diri. Di sini berarti ada nilai-nilai dasar yang ingin kita pertahankan bahkan ingin kita perkuat. Nilai-nilai itu sudah jelas, yaitu Pancasila. Beberapa di antaranya ciri-ciri dikemukakan di sini. Pertama, dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yang bagi kita mutlak. Jika diikuti pandangan-pandangan sekular dunia Barat, yang ilmunya kita pelajari dan jadi rujukan para cendekiawan kita, sepertinya berjalan berlawanan. Dalam masyarakat modern, kita lihat kecenderungan lunturnya kehidupan keaga maan. Jadi, ini bukan tantangan yang sederhana, tetapi penting, karena landasan moral kita, segenap imperative moral kita, dan konsep kita mengenai kemanusiaan, keadilan, dan keberadaban, adalah keimanan dan ketakwaan. Pancasila jelas adalah paham yang demokratis. Silanya yang keempat mencerminkan hal itu. Namun, demokrasi itu sendiri bukan suatu wujud yang kaku. Memang, ada unsur-unsurnya yang baku seperti partisipasi yang bebas, luas, dan terbuka dari rakyat, tetapi sistemnya tidak harus seragam di semua tempat. Dari dalam dan dari luar kita akan menghadapi tantangan-tantangan terhadap sistem demokrasi yang kita anut dan ingin tegakkan, yang sesuai dengan kondisi sosialkultural bangsa kita yang demikian majemuk dan latar belakang historis bangsa kita. Dalam konteks ini, kita menyadari bahwa ada ciri-ciri dari masyarakat modern yang berlaku buat semua, tetapi kita yakin bahwa, misalnya, asas kekeluargaan (bukan dalam arti nepotisme) adalah suatu bangun nilai yang unggul dan dapat diterapkan dalam masyarakat modern. Manifestasinya antara lain adalah kita ingin selalu mendahulukan musyawarah, dan menghindari diktator mayoritas atau tirani minoritas. Bagi masyarakat modern (Barat) mungkin ini konsep yang kuno (archaic), bertele-tele dan juga mahal, tetapi bagi kita lebih banyak baiknya daripada buruknya. Dan yang terakhir, pada waktu kita berbicara mengenai masyarakat Indonesia, sesungguhnya kita berbicara mengenai masya rakat yang majemuk, bukan hanya komponen komponen budayanya, tetapi juga taraf perkembangannya. Tidak mungkin kita menyamakan masyarakat Jakarta atau bahkan Jawa dengan masyarakat Irian Jaya. Pada waktu kita berbicara mengenai masyarakat Indonesia modern, dalam pikiran kita tentunya adalah seluruh masyarakat Indonesia. Tentunya hanyalah suatu lamunan terciptanya masyarakat tanpa kelas atau tanpa perbedaan sosial ekonomi, tetapi haruslah diusahakan bahwa lapisan yang terbawah sekalipun, tidak jauh tertinggal dari kehidupan yang berkemanusiaan, yang bermartabat, dan mendapat kesempatan untuk memasuki kehidupan modern. Ini suatu tantangan yang tidak kecil pula.
Kepemimpinan Masa Depan
Pada waktu berbicara tentang konsep kepemimpinan masa depan masyarakat modern yang ciri-cirinya diuraikan di atas haruslah menjadi rujukan. Karena itu, pemimpin masa depan haruslah yang memiliki ciri-ciri kepemimpinan modern, yakni memiliki sema ngat, nilai-nilai, dan pikiran-pikiran modern. Kita tidak boleh lupa pula bahwa bangsa Indonesia memiliki warisan dari para leluhur mengenai prinsip-prinsip kepemimpinan. Banyak di antaranya yang relevan sepanjang masa dan sekarang pun masih digunakan. Salah sebuah konsep kepemimpinan yang merupakan warisan kebudayaan bangsa adalah Hastha Brata, atau delapan ajaran keutamaan, seperti yang ditunjukkan oleh sifat-sifat alam.1 Ki Hadjar Dewantara merumuskan kepemimpinan sosial dengan tiga ungkapan yang sangat dalam maknanya: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangunkarso, dan tut wuri handayani. 2 Apabila ditelaah secara dalam, pesan-pesan leluhur serta asas-asas kepemimpinan yang telah kita miliki itu mengandung nilai-nilai kepemimpinan yang berlaku di segala jaman. Ini merupakan contoh dari nilai-nilai tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern, dan tidak lapuk dan lekang oleh gelombang perubahan apapun. Ini merupakan sifat-sifat kepemimpinan yang universal, yang berintikan suatu nilai bahwa sang pemimpin harus dapat memotivasi dan memberikan keyakinan kepada yang dipimpinnya.
Yang dipimpin harus merasakan kemanfaatan 1 Hastha Brata adalah ajaran tentang prinsip-prinsip kepemimpinan yang disampaikan oleh Sri Rama kepada Bharata, adiknya, yang kan menjadi raja Ayodhya. Ini diceritakan dalam Ramayana Kakawin (cerita berbentuk puisi dalam bahasa Jawa Kuno dari abad-10), yaitu ketika Rama harus meninggalkan istana untuk mengembara di hutan bersama Laksmana, adiknya, dan Dewi Shinta, istrinya. Atas permintaan ayahnya, Dastharata, Raja Ayodhya, Rama harus mengembara di hutan dahulu sebelum boleh menggantikannya. Di hutan itulah ia kehilangan Dewi Shinta karena mengejar Kijang Kencana, alat tipuan Dasamuka.
Seorang pemimpin harus berwatak matahari, artinya member semangat, memberi kehidupan, dan memberi kekuatan bagi yang dipimpinnya. Harus mempunyai watak bulan, dapat menyenangkan dan memberi terang dalam kegelapan. Memiliki watak bintang, dapat menjadi pedoman. Berwatak angin, dapat melakukan tindakan secara teliti dan cermat. Harus berwatak mendung, artinya bahwa pemimpin harus berwibawa, setiap tindakannya harus bermanfaat. Pemimpin harus berwatak api, yaitu bertindak adil, mempunyai prinsip, tegas, tanpa pandang bulu. Ia juga harus berwatak samudera, yaitu mempunyai pandangan luas, berisi, dan rata. Akhirnya seorang pemimpin harus memiliki watak bumi, yaitu budinya sentosa dan suci. 2 Ini diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam berbagai kesempatan berpidato kepada anak-anak didiknya serta para pengasuh di Perguruan Taman Siswa yang dibangunnya pada masa penjajahan Belanda. Tiga prinsip kepemimpinan itu bermakna bahwa "seorang pemimpin harus berada di depan yang dipimpinnya untuk menjadi teladan, di tengah-tengah untuk membangun semangat (kemauan), dan mengikuti dari belakang untuk memberi kekuatan (daya). "Kata-kata itu dikutip oleh Ki Hadjar dari Drs. Raden Mas Sostrokartono (saudara kandung Raden Adjeng Kartini) yang bunyi aslinya adalah: Ing ngarso asung tulodo, ing madyo mangun karso, ing wurihandayani. dari kepemimpinannya. Dengan demikian kepemimpinannya akan efektif, dan yang dipimpin dapat menerimanya dengan taat dan ikhlas. Berdasarkan nilai-nilai kepemimpinan seperti itu pada dasarnya bagi bangsa Indonesia seorang pemimpin harus memiliki tiga sifat, yaitu: Pertama, ia harus memiliki idealisme, artinya jelas ke mana atau ke arah mana ia ingin membawa yang dipimpinnya. Dalam hal ini wawasan kebangsaan harus menjadi pedoman baginya. Pemimpin harus memahami apa yang menjadi tujuan perjuangan,3 dan menempatkan kepentingan perjuangan dan masya rakat yang dipimpinnya di atas kepentingannya sendiri. Ia harus memiliki komitmen kepada tujuan perjuangan itu dan senantiasa berupaya mencapainya. Bagi bangsa Indonesia tujuan perjuangan itu jelas. Ia lahir bersama kemerdekaannya dan seluruh sejarahnya. Sifat bangsa Indonesia yang majemuk membuat pemimpin harus mampu menjadi pemersatu. Dalam hal kepemimpinan kebangsaan seorang pemimpin harus menjadi pemimpin bangsa, bukan hanya mementingkan kelompok yang dipimpinnya atau suatu bagian dari bangsa. Seorang pemimpin di Indonesia harus memiliki wawasan kebangsaan dalam pengertian yang lahir pada Sumpah Pemuda tahun 1928. Kedua, ia harus memiliki pengetahuan, untuk dapat secara efektif membawa yang dipimpin ke arah tujuan yang "diidealkannya". Ia harus mengetahui cara memimpin dan menguasai bidang atau tugas dari kelompok yang dipimpinnya. Dengan demikian, ia harus seorang profesional. Ini berarti bahwa seorang pemimpin, bukan hanya mengerti teknik kepemimpinan, tetapi juga menguasai bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Ketiga, seorang pemimpin harus menjadi teladan, dan sumber inspirasi. Oleh karena itu, seorang pemimpin diharapkan manusia -manusia yang beriman dan bertaqwa, karena hanya di atas iman dan taqwa, pembangunan yang berakhlak dapat diselenggarakan. Pemimpin juga harus memahami dan menghayati kebudayaan bangsanya.4 Ajaran leluhur dan doktrin kepemimpinan yang telah diungkapkan di atas mencakup sifat pertama dan ketiga, bahkan juga sebagian sifat kedua, yaitu menunjukkan bagaimana seorang pemimpin harus memimpin.
Dengan demikian, masalahnya menjadi lebih sederhana. Bukan doktrin atau asasnya yang masih harus dicari tetapi kualitas pemimpin dan kepemimpinan itu yang perlu dikembangkan, agar mampu menjawab tantangan-tantangan masa depan. Masa depan itu sendiri tidak dapat dipisahkan dengan masa kini dan masa lampau. Begitu pula pemimpin masa depan, ia harus dapat berpikir secara menyeluruh melacak sejarah, menapakkan kakinya pada kekinian, serta sekaligus “bertualang” menjelajahi masa depan. Ia harus memperhatikan berbagai kendala masa lalu dan masa kini, tetapi ia pun harus memiliki daya cipta untuk membawa yang dipimpinnya ke dalam kehidupan yang lebih sejahtera lahir batin di masa depan. Ia harus dapat melihat ke belakang, ke dalam masanya, dan ke masa depan, dan memahami semua yang dilihatnya dalam rangka aspirasi bangsanya. Bangsa Indonesia tidak dapat mengharapkan selalu dapat memperoleh pemimpin yang besar seperti Bung Karno dan Pak Harto, yang mempunyai kapasitas individual dan kualitas kepemimpinan. Perjuangan pada dasarnya merupakan hakikat pembangunan. Dalam pembahasan teori-teori kepemimpinan, kebudayaan suatu bangsa merupakan suatu variabel contingency yang sangat penting untuk diperhatikan. kepemimpinan yang luar biasa, dan tampil bersama dengan peran yang historis dan teramat menentukan dalam perjalanan bangsa. Namun, dari kedua beliau itu, kita dapat belajar mengenai bagaimana sosok pemimpin bangsa yang tepat untuk masanya. Dari sudut pandang ini, maka pertama-tama pemimpin masa depan tidak mungkin bersandar semata-mata kepada kharisma, baik dari pembawaan, karena peran sejarah, atau dibuat secara sintetis. Kelebihan seorang pemimpin akan diukur dari prestasi nyata dan kualitas pemikirannya oleh masyarakat dan orang-orang yang setara (equal) dengannya. Para pemimpin nantinya mungkin tidak berbeda terlalu lebih dari yang lain. Namun, pemimpin yang dituntut adalah yang berjiwa kerakyatan, dan sadar bahwa kepemimpinannya adalah mandat atau kepercayaan yang diberikan oleh yang dipimpin dan harus dipertanggungjawabkannya.
Tidak mungkin lagi seorang pemimpin pada masa kini dan masa mendatang merasa kepemimpinannya itu sebagai haknya, entah karena keturunan, kekayaan, atau kepintarannya. Para pemimpin masa depan akan memimpin rakyat yang makin luas dan dalam pengetahuannya, yang makin paham akan hak-haknya dan makin menjaga martabat, dan kepentingannya. Maka pemimpin tidak lagi bisa mengandalkan kepada kekuatan fisik, seperti di masa awal di banyak negara berkembang, tetapi harus lebih kepada kekuatan moral dan intelektual. Pemimpin masyarakat modern harus siap memimpin secara demokratis, karena kehidupan demokrasi adalah senafas dengan kemajuan dan kesejahteraan ekonomi. Dengan demikian pemimpin yang diperlukan, dan yang paling akan berhasil memimpin, adalah pemimpin yang berjiwa demokrat, dan bukan yang otoriter. Pemimpin yang tegas bukan harus pemimpin yang otoriter, tetapi justru yang mampu meyakinkan yang dipimpinnya akan kebenaran arah yang akan ditempuh. Masyarakat akan makin canggih, dan tuntutan kepada pemimpinnya akan makin canggih pula. Masyarakat memilih pemimpin yang punya wawasan ke masa depan. Karena masa depan sangat padat pada teknologi, maka seorang pemimpin tidak boleh merasa asing terhadap kemajuan ilmu dan teknologi. Hal ini tidak berarti seorang pemimpin harus seorang ilmuwan (scientist). Yang lebih penting adalah seorang pemimpin harus memiliki apresiasi terhadap ilmu pengetahuan dan peran teknologi sebagai unsur yang sangat pokok dalam membentuk kehidupan masa depan. Dalam suasana kehidupan yang makin rumit, untuk menentukan pilihan yang paling baik menjadi makin sulit. Oleh karena itu, kearifan sangat diperlukan, lebih daripada di masa lalu, untuk menentukan mana yang terbaik, atau mana yang paling kurang buruk di antara alternatif-alternatif yang buruk. Di samping kearifan, diperlukan pula suatu tingkat pemahaman teknis, agar keputusan yang menyangkut implikasi yang kompleks tidak diambil semata-mata atas dasar intuisi, seperti dalam banyak masyarakat tradisional, tetapi dengan dasar pengetahuan dan perhitungan yang matang. Karena masyarakat akan lebih terbuka, dan kebebasan diperlukan untuk mengembangkan kreativitas, maka untuk mencapai konsensus akan makin pelik. Kembali diperlukan kearifan dari pemimpin untuk mengambil keputusan yang tepat yang tidak selalu mendapat dukungan orang banyak. Perkembangan ekonomi dunia serta persaingan yang makin tajam membuat pemimpin bangsa di masa depan harus memiliki pengetahuan yang memadai mengenai tata hubungan internasional dan mengenai bekerjanya mekanisme ekonomi dunia. Para pemimpin bangsa nanti harus memiliki kemampuan untuk membawa bangsa ini untuk memenangkan persaingan yang sangat diperlukan untuk kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Tidak ada bangsa yang dapat mengisolasikan diri dan tidak tergantung kepada hubungan internasional. Pemimpin modern dengan demikian harus mempunyai minat dan pengetahuan yang cukup mengenai hal ikhwal yang terjadi di luar batas kepentingan bangsanya sendiri yang langsung. Ia harus memiliki jiwa
kemanusiaan dan perhatian (concern) terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Dengan berbekal wawasan kebangsaan para pemimpin masa depan harus mampu memelihara kedaulatan dan kehormatan bangsa di antara masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Selain kekuatan yang dimiliki suatu negara baik dalam bidang politik, ekonomi, atau militer, kualitas kepemimpinan dalam suatu bangsa juga mempengaruhi martabat bangsa itu dalam pergaulan internasional. Secara keseluruhan pemimpin masa depan adalah pemimpin yang harus membangun bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan mandiri. Kemajuan dan kemandirian ini harus menjadi landasan serta modal untuk membangun bangsa yang adil dan makmur, yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Singkatnya, kepemimpinan modern, di samping memiliki sifat-sifat tradisional, yang melambangkan moral kepemimpinan bangsa, juga harus merupakan sosok modern. Pemimpin yang demikian adalah seorang yang memiliki wawasan kebangsaan, jiwa kerakyatan, kemampuan profesional, memiliki wawasan masa depan, inovatif, dan rasional. Ia harus mampu di satu pihak memahami masalah-masalah yang kompleks, dan di pihak lain mampu menemukan pemecahan yang sederhana dan mudah dipahami serta dilaksanakan bagi pemecahan masalah-masalah yang kompleks itu. Ia bukan hanya harus berani mengambil risiko, tetapi juga mampu menghitung risiko.
Penutup
Bagaimana bisa menemukan pemimpin serupa itu, itu suatu persoalan yang harus bisa dijawab. Tentu saja di sini saya berbicara tentang pemimpin pada berbagai tingkat dan bidang dalam masyarakat yang semuanya membentuk struktur yang kukuh beralaskan wawasan kebangsaan yang saya sebutkan itu. Seperti dikatakan tadi, pemimpin bisa dibuat. Bahkan acapkali dikatakan pemimpin adalah cerminan masyarakatnya (you deserve your leader), atau pemimpin adalah "produk budaya" masyarakatnya. Maka sungguh penting menanami lahan yang subur dari sejak sekarang untuk menumbuhkan bibit-bibit kepemimpinan seperti yang dikehendaki. Di sini peran pendidikan nasional teramat penting, baik yang diselenggarakan di sekolah, dalam masyarakat, maupun di lingkungan keluarga. Melalui sistem pendidikan akan tampil dan ditempa pemimpin-pemimpin masa depan. Oleh karena itu, kualitas PENDIDIKAN menentukan pula kualitas PEMIMPIN MASA DEPAN.